BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Dakwah pada mulanya dipahami sebagai perintah Allah yang
tertuang dalam al-Qur’an. Bagi setiap muslim yang taat kepada Allah, maka
perintah berdakwah itu wajib dilaksanakan. Ketika dakwah dilaksanakan dengan
baik, lalu disadari bahwa dakwah itu merupakan suatu kebutuhan hidup manusia.
Dan ketika dakwah disadari sebagai suatu kebutuhan hidup, maka dakwah pun
menjadi suatu aktivitas setiap muslim kapan pun dan dimana pun mereka berada.
Kemudian aktivitas dakwah pun berkembang dalam berbagai situasi dan kondisi
dengan berbagai dinamikanya.
Dalam perkembangan terakhir di Indonesia, khususnya dalam
lingkungan perguruan tinggi agama Islam, dakwah berkembang sebagai satu
disiplin ilmu dan kedudukannya disejajarkan dengan disiplin ilmu Islam lainnya,
seperti Filsafat, Tasawuf, Hadist dan disiplin ilmu lainnya
B.
Rumusan masalah
A. Apakah yang dimaksud dengan Epistimologi
Dakwah?
B. Apa saja model-model Epistimologi
Islam?
C. Bagaimana metodologi keilmuwan dakwah?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1. Epistimologi
Epistimologi adalah teori
pengetahuan, “episteme”artianya pengetahuan atau kebenaran; “logos” artinya
teori atau ilmu(kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani),
menyelidikan keaslian pengetahuan, struktur, metode dan validitas pengetahuan.
Pengetahuan adalah suatu hasil dari proses tindakan manusia dengan melibatkan
seluruh keyakinan yang berupa kesadaran dalam menghadapi objek yang ingin
diketahuinya.[1]
Ada juga yang berpendapat bahwa pengetahuan atau epistimologi adalah cabang
dari filsafat yang membahas persoalan apa dan bagaiman cara seseorang
memperoleh pengetahuan dan merupakan bagian dari filsafat tetang refleksi
manusia atas kenyataan yang menguraikan metode ilmiah sesuai dengan hakikat pengertian
manusia.[2]
Dalam bidang epistimologi terdapat 3 persoalan pokok yaitu:
1.
Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari
manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita?
2.
Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada
dunia yang benar-benar diluar pikiran kita. Kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya?
3.
Apakah pengetahuan kita benar? Bagaimanakah kita
dapat membedakan yang benar dari yang salah?
Dalam pencarian kebenaran manusia
melakukan upaya transendensi, merupakan kiasan dari bagaimana manusia
membuka pintu kebenaran tahap demi tahap, dari semua tingkat (inderawi, naluri,
imajinasi) menuju kepemahaman(hati nurani) kemudian menuju tingkat lebih sempurna(akal-rasional)dan
dilanjutkan kependakian tertinggi ditingkat ma’rifat ilmu yakni menemukan
kebenaran tertinggi(Allah SWT). Secara keilmuan epistimologi mempunyai
kedudukan yang sesungguhnya jauh lebih mendasar yakni dasar kebenaran
pengetahuan dari akarnya sampai melewati dimensi fisiknya.
Perbedaan antara
epistimologi, metodologi dan logika terletak pada cakupan pengertiannya.
Epistimologi berkaitan dengan teori pengetahuan pada umumnya, sehingga memiliki
pengertian yang paling luas. Tercakup dalam pengertian tersebut adalah
metodologi. Metodologi tidak lebih dari kajian-kajian mengenai tata cara dan
teknik-teknik ilmiah untuk memperoleh sebuah jenis pengetahuan, yaitu
pengetahuan ilmiah. Sebagai dari tata cara tersebut adalah logika. Logika
adalah salah satu jenis dari metode ilmiah yang terdiri dari asas-asas dan
aturan-aturan yang sah.[3]
2.
Dakwah
Dakwah
menurut etimologi (bahasa) berasal dari kata bahasa Arab : da’a – yad’u
– da’watan yang berarti mengajak, menyeru, dan memanggil[4].
Di antara makna dakwah secara bahasa adalah:
1.
An-Nida artinya memanggil; da’a filanun Ika
fulanah, artinya si fulan mengundang fulanah.
Dalam dunia
dakwah, rang yang berdakwah biasa disebut Da’i dan orang yang menerima dakwah
atau orang yang didakwahi disebut dengan Mad’u.
Dalam pengertian istilah dakwah diartikan
sebagai berikut:
1.
Prof. Toha Yaahya Oemar menyatakan bahwa dakwah
Islam sebagai upaya mengajak umat dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar
sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat.
2.
Syaikh
Ali Makhfudz, dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin memberikan definisi dakwah
sebagai berikut: dakwah Islam yaitu; mendorong manusia agar berbuat kebaikan
dan mengikuti petunjuk (hidayah), menyeru mereka berbuat kebaikan dan mencegah
dari kemungkaran, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
3.
Hamzah Ya’qub mengatakan bahwa dakwah adalah
mengajak umat manusia dengan hikmah (kebijaksanaan) untuk mengikuti petunjuk
Allah dan Rasul-Nya.
4.
Menurut Prof Dr. Hamka dakwah adalah seruan panggilan untuk menganut suatu pendirian yang
ada dasarnya berkonotasi positif dengan substansi terletak pada aktivitas yang
memerintahkan amar ma’ruf nahi mungkar.
5.
Syaikh Muhammad Abduh mengatakan bahwa dakwah
adalah menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran adalah fardlu yang
diwajibkan kepada setiap muslim[6].
3.
Epistimologi Dakwah
Untuk mendapatkan pengertian
epistimologi dakwah terlebih dahulu kita lihat pada pengertian filsafat dakwah
yang dapat diartikan dari dua arti, pertama filsafat dakwah adalah filsafat
tentang dakwah. Dalam hal ini dakwah menjadi bahan kajian dan menempatkan
filsafat sebagai bahan titik tolak befikir. Dalam hal ini, asfek filsafat yang
di tonjolkan bukan dakwahnya. Kedua filasafat dakwah adalah pengkajian secara
subtansial dimana dakwah menjadi titik pusat dan dakwah menjadi pusat dan
kajian epistimologinya sebagai bahan kajian yang diwaranai oleh nilai-nilai
dakwah. Dengan demikian epistimologi dakwah adalah usaha seseorang untuk
menelaah masalah-masalah objektifitas, metodologi, sumber, serta validitas
pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan dakwah sebagai titik tolak
berfikir.[7]
Dalam filsafat ilmu yang berkaitan dengan hakikat ilmu, ada pertanyaan
mendasar yang berkaitan dengan pengetahuan yang perlu dijawab untuk merumuskan
dasar epistimologi dalam hal ini adalah ilmu dakwah yaitu “bagaimana cara
memperoleh pengetahuan ilmu dakwah itu?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut
yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan epistimologi ilmu dakwah, ada baiknya
mengikuti secara runtut mengenai perkembangan pengetahuan manusia. Pada dasarnya
kemampuan menalar telah menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan
yang dimilikinya. Sumber-sumber pengetahuan itu diteliti, dipelajari dan dicoba
untuk di ungkap prinsip-prinsip primernya oleh kekuatan pikiran untuk kemudian
diaplikasikan kedalam kehidupan.[8]
Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh manusia lewat kebenaran
inderawi dan rasional saja itu tidak cukup melainkan, harus melampauinya yakni
kebenaran intuitif(batin) yang mempunyai pengertian suatu jenis pengetahuan
yang didapat melalui pengetahuan qalbu(intuisi). Dalam persoalan epistimologi
dakwah hal pertama yang harus dijawab adalah kondisi apa yang harus dibangun,
semestinya ada dalam perangkat dakwah, dan mengapa kondisi tersebut harus
dibangun?
Jawabannya yaitu, bahwa faktor moralitas sebagai dimensimoral keagamaan
adalah salah satu syarat yang dimaksud tersebut. Faktor moralitas mempunyai
peranan penting dalam aplikasi dakwah dalam masyarakat. Artinya perilaku
dakwah harus mencirikan akhlak dalam pengertian mempunyai kandungan syarat dari
perbuatan baik. Syarat itu adalah suatu perbuatan dapat dikatakan baik apabila
meliputi: niat yang baik. Cara yang baik termasuk didalamnya hukum positif dan
hukum agama, dan tujuan yang baik pula. Dan perbuatan baik ini harus lahir dari
hati nurani yang dalam. Konsep “Ibda’binafsika”(mulai dari diri sendiri)
disini lebih bermakna dan cara ampuh untuk mengubah tatanan masyarakat menjadi
yang lebih baik lagi daripada hanya menyuruh pada kebaikan sedangkan dirinya
sendiri melakukan kemungkaran. Dengan demikian, perbuatan baik merupakan
refleksi manusiawi yang melahirkan kebaikan, kejujuran dan kebersamaan dan
lain-lain. Oleh karena itu, satunya kata dan perbuatan harusnya lahir dari
kesatuan diri manusia. Ini merupakan perpaduan unik antara visi dan misi dalam
tradisi dakwah Islam.
B.
Teori terkait epistimologi dakwah
1. Landasan Epistimologi Dakwah
1. Landasan Epistimologi Dakwah
Epistimologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan yang merupakan hasil tahu
seseorang terhadap sesuatu, jika itu berhubungan dengan dakwah maka menjadi
pengetahuan dakwah. Pengetahuan dakwah adalah hasil tahu manusia tentang dakwah
melalui proses-proses dari sumber yang ada.
Sebelum kita membahas landasan epistimologis dakwah, kita dapat melihat berapa
banyak dari ilmuan muslim yang juga menggunakan landasan pengetahuan yang
bersumber pada Islam. Semua sependapat bahwa sumber pengetahuan adalah Allah.
Hal ini dinyatakan secara jelas dalam Al-quran surat Al.Kahfi ayat 109 di
tegaskan:
è
109. Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".
Dengan ungkapan berbeda, al-Quran
menyatakan dalam bentuk cerita, pada saat awal penciptaan manusia, yaitu Nabi
Adam. Allah mengajarkan kepada Adam sesuatu yang tidak di ketahui adam.
Kemudian dikatakan Allah sebagai sumber ilmu pengetahuan adalah dengan
diwahyukannya (al-Quran dan hadits), dan pengetahuan empiris (yang tidak
diwahyukan) yang di dapat dari pengamatan dan penelitian terhadap penomena
alam. Kemudian landasan lain yang perlu dipertimbangkan adalah teoritis, yaitu
hasil karya manusia yang khusus mengkaji dakwah. Berangkat dari penjelasan
diatas, dalam pengembangan dakwah perlu kiranya di pertegas tentang
epistimologi dakwah secara keilmuan. Oleh karena itu teori kebenarannya adalah
kebenaran ilmu dan bukan kebenaran agama, kebenaran itu diuji sejauh mana
keabsahan suatu pengetahuan itu,dan ini memerlukan pembuktian. Karana hal ini
adalah bagian yang fundamental untuk membangun dan mengembangkan dakwah Islam
agar lebih bersistem. Agar dapat diketahui makna dakwah itu, lalu panggilannya
kemana, dan untuk apa? Dan yang menjadi batasan tegas keilmuan dakwah adalah
dakwah sebagai ilmu, karena yang dibahas kajian wilayah epistimologinya.
Para penulis biasanya berdasarkan al-Quran dan hadits yang dianalisis
menurut kerangka dakwah, akhirnya dapat di simpulkan landasan epistimologi
dakwah ada tiga:[9]
a.
Sumber normatif (al-qur’an dan hadits),
b.
Sumber empiris (kenyataan dakwah),
c.
Sumber teoritis (hasil karya penulis tentang
dakwah).
C.
Model-model Epistimologi Dakwah
Dalam kajian pemikiran Islam
terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori epistimologi.
Setidaknya ada tiga model system berpikir dalam Islam, yakni : Bayani, Irfani
dan Burhani, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sangat berbeda tentang
epistimologi.
1.
Epistimologi Bayani
Secara epistimologis Bayani mempunyai arti penjelasan,
pernyataan dan ketetapan. Sedangkan menurut terminologis Bayani berarti pola
pikir yang bersumber pada nash, ijma’ dan ijtihad.[10]
Ada juga yang berpendapat bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang
didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan dan langsung
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami
teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu penafsiran dan penalaran. Hal
ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya,
akan tetapi penafsiran dan penalaran tetap harus bersandar pada
teks(nash).
Epistimologi Bayani merupakan studi filosofis terhadap
struktur pengetahuan yang menempatkan teks(wahyu) sebagai kebenaran mutlak.
Sedangkan akal hanya menempati tingkat kedua dan sifatnya menjelaskan teks yang
dimaksud. Tradisi Bayani muncul tidak terlepas dari tradisi teks yang
berkembangdalam ajaran islam. Dan ada sekitar 50 ayat al-Qur’an yang mengungkap
kata Bayani ini.[11]
Dalam dakwah islam, teks (nash) Al-Qur’an khususnya merupakan sumber utama
sebagai tolak ukur dan titik tolak dari seluruh kegiatan dakwah islam yang
dilakukan oleh para pendakwah. Oleh karena itu, secara origin maka epistimologi
bayani merupakan bentuk dari sumber pengetahuan ilmu dakwah itu sendiri.
2.
Epistemologi Irfani
Epistimologi Irfani menurut etimologi berarti al-ma’rifah,
al-‘alhikmah. Sedangkan secara eksistensialis berpangkal pada zauq, qalbu atau
intuisi yang merupakan perluasan dari pandangan illuminasi dan yang berpakar
pada tradisi Hermes. Pengetahuan irfani tidak didasarkan pada teks (nash)
seperti bayani, akan tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas
oleh Allah S.T.W. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan
analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan
Allah S.T.W han akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam
pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan
demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan yaitu:
Persiapan, untuk bisa menerima limpahan
pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan
spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah
menuju puncak.
a.
Taubat,
b.
Wara’(menjauhkan diri dari segala sesuatu yang
subhat),
c.
Zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan
kehidupan dunia).
d.
Faqir (mengosongkan seluruh fikiran dan harapan
masa depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali atas kehendak Allah SWT).
e.
Sabar (menerima segala bencana dengan lapang
dada, ikhlas dan rela).
f.
Tawakkal (percaya atas segala apa yang
ditentukan oleh Allah SWT).
g.
Rida (hilangnya rasa ketidak senangan dalam hati
sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita).
Tahap penerimaan, jika telah mencapai tingkat
tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan
langsung dari Allah secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan
mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga
dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah)
sebagai objek yang diketahui.Namun, realitas kesadaran dan realitas yang
disadari tersebut keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan
eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran
yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ijtihad) yang dalam kajian
Mehdi Yazdi disebut ‘ilmu huduri’ atau pengetahuan objek
(self-object-knowledge).
Tahap Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman
mistik di interpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau
tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan
representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri
dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan maka tidak
semua pengalaman ini bisa diungkapkan. Persoalannya, bagaimana makna atau
dimensi batin yang diperoleh dari kasyf tersebut diungkapkan? Pertama,
diungkapkan dengan cara I`tibar atau qiyas irfani. Yakni analogi (penyepadanan)
makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks
atau diungkapkan lewat syathahat, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdan)
karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan
pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M),
atau Ana al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M).16 Karena itu, menjadi tidak
beraturan dan diluar kesadaran.[12]
Dalam hubungannya dengan dakwah islam tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap
sumber pengetahuannya karena dakwah pada dasarnya lebih kepada persoalam
perubahan social dan transformasi nilai-nilai islam yang konkret dan rasional.
3.
Epistemologi Burhani
Epistimologi Burhani secara bahasa berarti argumentasi yang
jelas. Sedangkan menurut istilahnya berarti aktifitas intelektual untuk
menetapkan kebenaran proposisi dengan metode deduktif yaitu dengan cara
mengaitkan proposisi satu dengan proposisi lainnya yang bersifat aksiomatik
atau setiap aktifitas intelektual untuk menetapkan kebenaran suatu proposisi.Berbeda
dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks, burhani sama sekali
tidak mendasarkan diri pada teks. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio
dan akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika.
Epistimologi Burhani membangun pengetahuan dan visinya atas
dasar potensi bawaan manusia yakni kemampuan melakukan proses pengindraan,
eksperimensi dan konseptualisasi. Metode ini pertama kali dikembangkan di
Yunani melalui proses panjang dan puncaknya pada Aristoteles. Metode ini
biasanya disebut oleh Aristoteles dengan sebutan analisis yang mempunyai
pengertian menguraikan ilmu atas dasar prinsip-prinsipnya. Epistimologi burhani
inilah yang lebih kental dengan sumber dakwah Islam setelah epistimologi bayani
(teks/nash). Ketiga bentuk epistimologi Islam diatas merupakan bagan teori
pengetahuan dalam aplikasi terapannya ditengah pergumulan kajian keislaman yang
didalamnya salah satunya adalah ilmu dakwah. Karakteritik ini pada awalnya
pemunculan sampai dengan perkembangannya melzalui mekanisme secara runtut sejak
sebelum masehi sampai dengan kontenporer tergambar secara jelas dalam berbagai
tipologi masyarakat islam baik bangunan keilmuan konseptualnya maupun
aplikasinya didalam setiap penerapan keilmuan sebagai cara pandangnya.
Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani
menghasilkan pengetahuan lewat analogi furu` kepada yang asal; irfani
menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan. Dan burhani
menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan
sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dan tiga epistemologi Islam ini
mempunyai ‘basis’ dan karakter yang berbeda. Pengetahuan bayani didasarkan atas
teks, irfani pada intuisi sedang burhani pada rasio. Masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Untuk bayani, karena hanya mendasarkan diri pada
teks, ia menjadi terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental bukan
substansial, sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan
sosial masyarakat yang begitu cepat. Kenyataannya, pemikiran Islam saat ini
yang masih banyak didominasi pemikiran bayani fiqhiyah kurang bisa merespon dan
mengimbangi perkembangan peradaban dunia. Tentang burhani, ia tidak mampu
mengungkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta.
Jadi ketiga hal tersebut harus disatukan dalam sebuah pemahaman.
Maksudnya, ketiga model tersebut diikat dalam sebuah jalinan kerjasama untuk
saling mendukung dan mengisi kekurangan masing-masing sehingga terciptalah
Islam yang ‘Shalih li Kulli Zaman wa Makan‘, Islam yang aktual dan
kontekstual dalam semua tingkat peradaban. Kita harus mengambil filsafat, bukan
sekedar sejarahnya melainkan lebih pada aspek metodologinya dengan dibantu
ilmu-ilmu kontemporer sehingga ia mampu memberikan sumbangan yang signifikan
terhadap perkembangan keilmuan Islam kedepan.[13]
D.
Metodologi keilmuan dakwah
Metode ilmu
dakwah itu secara garis besar meliputi:
a.
Metode(Manhaj) Istinbath yaitu proses penalaran
(istidlal) dalam memahami dan menjelaskan hakikat berupa teori utama ilmu
dakwah. Manhaj ini ilmu dakwah dapat menggunakan ilmu-ilmu bantu seperti Ushul
Fiqh, Ulumul al-Qur’an, Ulumul Hadits dan ilmu-ilmu bantu lainnya terutama yang
berhubungan langsung dengan kajian teks.
b.
Metode Iqtibas yaitu proses penalaran dalam memahami
dan menjelaskan hakikat dakwah/realitas dakwah/ denotasi dakwah dari islam
actual, islam empiris, islam historis atau islam empiris yang hidup di
masyarakat. Ilmu-ilmu social dipakai sebagai ilmu bantu dalam penerapan dan
penggunaan metode ini. Ilmu-ilmu dimaksud antara lain sosiologi, antropologi,
psikologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dll.
c.
Metode Istiqra’ yaitu proses penalaran dalam
memahami dan menjelaskan hakikat dakwah melalui penelitian kualitatif dan
kuantitatif dengan mengacu pada teori utama dakwah (hasil metode istinbath) dan
teori turunan dari teori utama dakwah (hasil metode iqtibas). Sedangkan hasil
metode istiqra’disebut teori kecil.[14]
Dengan menerapkan model ini dalam melakukan kajian terhadap obyek formal
ilmu dakwah maka diantara hasil yang dapat diperoleh meliputi:
a.
Masalah-masalah yang kompleks dalam dinamika
dakwah dapat dirumuskan.
b.
Proses dakwah dapat diketahui alurnya.
c.
Hasil-hasil dakwah dapat diukur dan dianalisa.
d.
Umpan balik kegiatan dakwah dapat dimulai.
e.
Fungsi dakwah dalam system kemasayarakatan dapat
diketahui dan di analisa
f.
Dampak perubahan dari sistem politik, ekonomi
dan perubahan social pada umumnya dapat diidentifikasi secara lebih jelas.
g.
Metode historis yaitu metode ilmu dakwah dengan
menggunakan pendekatan ilmu sejarah. Maksudnya realitas dakwah dilihat dengan
menekankan pada semua unsur dalam sistem dakwah dalam perspektif waktu dan
tempat kejadian. Dengan metode ini fenomena dakwah dapat dideskripsikan
secara komprehensip dan utuh.
h.
Metode Reflektif yaitu suatu proses vertifikasi
prinsip-prinsip serta konsep-konsep dasar dakwah yang diperoleh dari refleksi
pandangan dunia sebagai suatu paradigma. Penerapan metode ini diawali dengan
memanfaatkan pola penafsiran dalam disiplin ilmu tafsir. Kemudian prinsip
epistimologis yang dibangun atas dasar pandangan dunia tauhid itu
direfleksikan/ditafakurkan kedalam penyusunan wawasan teoritis. Wawasan
teoritis itu direfleksikan kedalam proses pemahaman fakta dakwah. Hasil kajian
atas fakta dakwah yang didasarkan pada wawasan teoritis tersebut di
generalisasikan dalam rangka membangun kerangka teori dakwah sesuai dengan
spesifikasi dan ruang lingkup obyek yang dikaji dalam ilmu dakwah.
i.
Metode Riset Dakwah Partisipatif. Metode ini menekankan
kajiannya dengan menggunakan pendekatan empiris. Jika pada pendekatan
reflektif proses kerja ilmiah bergerak dalam wilayah ayat-ayat kauniah. Dengan
pendekatan empiris ini, metode riset dakwah partisipatif diharapkan akan dapat
menghasilkan teori, system dan metode dakwah(metode berdakwah bukan metode ilmu
dakwah) akurat yang memilikikemampuan untuk dijadikan alat analisia medan
dakwah, memotret profil mad’u, menyusun program dakwah, menganalisa tahapan
proses pencapaian tujuan, memecahkan masalah nyata yang dihadapi dan mampu
mengatisipasi masalah yang kompleks.
Secara operasional metode riset dakwah perspektif ini memiliki prosedur
sebagai berikut: pertama, peneliti (da’i) melakukan generalisasi atas fakta
dakwah dalam perspektif sejarah dan melakukan kritik atas teori-teori dakwah
yang ada. Kedua peneliti (da’i) menyusun analisa kecenderungan masalah, system,
metode, pola pengorganisasian dan pengelolahan dakwah yang terjadi dimasa lalu,
kini dan mungkin dimasa mendatang.[15]
BAB III
A. Kesimpulan
Epistimologi dakwah adalah usaha seseorang untuk menelaah masala-masalah
objetipitas, metodologi, sumber, serta validitas pengetahuan secara mendalam
dengan menggunakan dakwah sebagai titik tolak berfikir. pengetahuan yang
diperoleh manusia lewat kebenaran inderawi dan rasional saja itu tidak cukup
melainkan, harus melampauinya yakni kebenaran intuitif(batin) yang mempunyai
pengertian suatu jenis pengetahuan yang didapat melalui pengetahuan
qalbu(intuisi).
Model-model Epistimologi Dakwah,
pertama epistimologi bayani secara epistimologis Bayani mempunyai arti
penjelasan, pernyataan dan ketetapan. Sedangkan menurut terminologis Bayani
berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’ dan ijtihad. Kedua,
epistimologi irfani menurut etimologi berarti al-ma’rifah, al-‘alhikmah. Ketiga,
epistimologi burhani secara bahasa berarti argumentasi yang jelas. Sedangkan
menurut istilahnya berarti aktifitas intelektual untuk menetapkan kebenaran
proposisi dengan metode deduktif yaitu dengan cara mengaitkan proposisi satu
dengan proposisi lainnya.
Download Makalah Epistimologi Dakwah Disini
[1]
Andy Derrmawan, Metodologi Ilmu Dakwah, (Kurnia Kalam Semesta: Yogyakarta:
2002), hlm 59.
[2]
Pranarka dan A Bakker,Epistimologi, Kebudayaan dan Pendidikan, (KSF:
Yogyakarta: 1979), hlm 132.
[3] The
Liang Gie, Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat,hlm,98-99.
[4] Samsul
Munir Amin, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam, (Jakarta, 2008), hlm 3.
[5] Amin
Abdul Aziz, Fiqih Dakwah; studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang harus
dijadikan acuan dalam dakwah islamiah, Solo, 2011, hlm 2.
[6] Drs.
Wahidin Saputra, M.A, Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta, 2011 hal, 1.
[7]
Suisyanto, Filsafat Dakwah, (yokyakarta: Teras, 2006), hlm 69.
[8] Andy
Dermawan,Tasawuf Amaliah dalam Eistimologi Islam(Yogyakarta: 2000),hlm162.
[9]
Suisyanto, Ibid,hlm 74.
[10] Muhammed
‘Abid al-Jabiri, Bunyahnal- Aql al- Arabiy, (Bierut: al-Markaz al- Tsaqofi
al-‘Arabiy,1993), hlm 383.
[11] Subhi
Mahamasani, Filsfat at-Tasyri’ fi al-Islam, (Beirut:Dar al-‘Ilmi al- Malayan,
1961), hlm 165-169.
[12] [8]
http://pandidikan.blogspot.com/2010/10/epistemologi-dan-ontologi-dakwah.html
[13] Muhammed
‘Abid al-Ajabiri, Ibid, hlm 383-385.
[14] Muhammad
Sulthon, Desain ILmu Dakwah(Pustaka Pelajar:Yogyakarta:2003), hlm 107-108.
[15]
Muhammad Sulthon….Ibid, hlm, 110-113.
0 comments:
Post a Comment